Kopi Hitam dan Istirah yang Nyaman


Dirimu adalah berbait puisi yang maknanya tak pernah tuntas kudedah…

kopi hitam dan istirah yang nyaman

Gambar diambil dari sini.

Di samping laptop yang kupakai untuk mengetik ini, masih setia segelas kopi dingin. Kuseduh berjam-jam lalu. Dua setengah sendok teh kopi hitam, ditambah dua sendok teh gula pasir. Begitu bukan racikan kopi yang enak? Kopi lampung ini memang terasa demikian nikmat. Kali ini, kutambahkan jahe dan kayu manis. Kapan-kapan kita bereksperimen meracik kopi, ya?

Ingatanku jadi begitu sibuk. Serupa pembuluh darah pada tubuh manusia paruh baya yang mulai tersumbat di sana-sini hingga bertekanan tinggi, ingatan-ingatan ini begitu berdesakan, tekanannya demikian tinggi.

Dan ingatan terbaru tentangmu…matamu yang –walau singkat- menatapku dalam. Aroma rindu yang menyengat, permintaan maaf yang sangat, juga keinginan menjagaku yang demikian kuat, semua tercium jelas dari hitam matamu. Kita tak banyak berkomunikasi secara verbal. Tapi, kita menangkap makna yang jauh lebih hebat dari apa yang mampu kata-kata sampaikan, bukan?

Aku pernah melakukan perjalanan. Berkereta sendirian. Mendaki puncak gunung. Tertidur di emper stasiun. Berbus melintasi perbatasan kota. Dan melulu ransel merah itu yang menemaniku. Aku benar-benar kuat, atau aku berpura-pura kuat? Aku tak tahu. Di sampingmu aku tak lebih dari anak kecil manja yang melulu menatapmu memohon minta ditemani. Yang mengemis pelukanmu kala gelisah. Menunggu genggaman tanganmu kala kecewa. Dadamu yang lapang, melulu jadi tempat istirah yang demikian nyaman.

Kau selalu menyerupa teduhnya senja. Menyerupa kehangatan secangkir kopi yang kita seduh bersama. Aku…dan kau.

 

Tertanda

Aku yang belum ingin pulang

2 thoughts on “Kopi Hitam dan Istirah yang Nyaman

Leave a comment