[Review] Marlina The Murderer in Four Acts


Marlina The Murderer in Four Acts ini mengisahkan tentang seorang janda yang membunuh para perampok, yang satu di antaranya tidak hanya merampok, tetapi juga memerkosanya. Tak tanggu-tanggung ia memenggal kepala si Perampok dan membawanya menuju kantor polisi. Selanjutnya kisah ini menggambarkan keberanian dan ketangguhan Marlina dalam perjalanan mencari keadilan atas apa yang dialaminya.

Screenshot2_Marlina

Kekerasan Terhadap Perempuan

Adegan Marlina membawa kepala perampok tersebut mengingatkan saya pada film Crazy in Alabama. Dimana Lucille membunuh suaminya dan kepala Sang Suami ia bawa kemana pun ia pergi. Ia melakukan pembunuhan itu agar tidak ada lagi penghalang baginya mengejar mimpi. Sebelumnya Lucille dikekang oleh Sang Suami. Saya menilai tindakan Lucille sebagai bagian dari pertahanan diri. Ia merasa ingin mendapatkan haknya meraih mimpi. Dan dalam pandangannya -barangkali- tidak ada cara lain selain dengan membunuh Sang Suami.

Ada ketidakadilan yang dialami Lucielle. Dalam bentuk berbeda, ada ketidakadilan yang diterima Marlina. Ada perampasan hak yang dialami Lucille, begitu pula Marlina. Hak nya sebagai manusia untuk diperlakukan dengan baik dirampas. Haknya atas kepemilikan aset direnggut (seluruh hewan ternaknya dicuri). Hak atas tubuhnya dirampas (ia diperkosa). Maka, Marlina harus bertahan. Marlina harus meraih kemerdekaannya. Narasi itu yang saya baca.

Hal tersebut menjadi sangat kentara dalam dialog antara Marlina dengan Novi, kawannya.

“Kau bisa ikut dengan Sa saja. Kau bisa ke gereja, mengaku dosa.” Tutur Novi.

“Sa tidak merasa berdosa.” bantah Marlina.

Bukan hanya Marlina, kekerasan juga dialami oleh Novi. Tokoh Novi digambarkan sebagai perempuan sederhana yang tengah mengandung lebih dari 9 bulan dan belum juga melahirkan. Di tengah segala kepayahan, ia masih harus menerima tindakan kasar dari Sang Suami yang menuduhnya selingkuh. Apa buktinya? Ia tak kunjung melahirkan. Pasti jabang bayi yang dikandung adalah hasil perselingkuhan. Absurd? Memang!

Tapi itulah realita yang ada.

Berdasarkan catatan tahunan KOMNAS Perempuan tahun 2017 KDRT/RP masih yang paling menonjol, yaitu sebanyak 10.205 kasus. Dari KDRT/RP tersebut, kekerasan fisik menempati posisi pertama sebanyak 4.281 kasus, disusul kekerasan seksual sebanyak 3.495 kasus. Sementara kekerasan psikis dan ekonomi tercatat sebanyak 1.451 kasus dan 978 kasus.

Persoalan-persoalan yang diangkat dalam film ini memang dialami oleh banyak perempuan. Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan dan belum kunjung selesai. Kiranya ini menjadi tanggung jawab kita bersama.

“Tarantino” Telah Lahir di Indonesia

Film ini dibuka dengan scene bukit-bukit, matahari terik, alam Sumba.  Teknik pengambilan gambar jauh, latar yang masuk ke dalam frame luas (maafkan saya tidak mengerti istilah sinematografi untuk teknik tersebut). Dilatari musik yang mengingatkan saya pada film-film koboi. Dan yang pertama terlintas di kepala saya saat menyaksikan scene tersebut adalah Quentin Tarantino!

Dari sekitar sepuluh judul film yang disutradarai Tarantino, saya baru menonton tiga film saja. Tapi, terlalu mudah untuk mengingat karakter Tarantino. Ya, sebab sangat khas! Scene pembuka tersebut seketika mengingatkan saya pada film Inglorious Bastards karya Tarantino.

Bagaimana Marlina dengan “tenang” membawa kepala perampok yang dibunuhnya membuat film ini terasa getir. Dingin. Nuansa yang dibangun ini semakin memantapkan saya : ini Tarantino sekali!

Salah satu ciri khas Tarantino adalah mengemas kekerasan secara “cantik”, aestheticization of violance. Walaupun yang dilakukan Mouly Surya belum seekstrim yang dilakukan Tarantino, namun eksekusi ini menurut saya tetap terbilang berani.

Dan saya senang ada sutradara Indonesia yang berani membuat film ala Tarantino. Karena saya yakin sama sekali tidak mudah. Jadi, saya ingin sampaikan saya bangga sekali dengan Mouly Surya atas keberaniannya dalam mengeksekusi film Marlina The Murderer in Four Acts ini. Sebab menurut saya ini langkah yang tidak begitu populer.

Terakhir, saya sangat merekomendasikan kalian untuk menonton film ini. Film ini mungkin tidak akan cocok bagi setiap orang. Namun, sangat layak untuk ditonton. Anda akan disuguhi dengan keindahan gambar, keindahan musik latar, kepadatan dialog, plot yang terkesan sederhana namun sarat persoalan yang coba disampaikan. Dan menurut saya tersampaikan dengan baik!

 

Yogyakarta, Desember 2017

IP

 

 

 

1 thought on “[Review] Marlina The Murderer in Four Acts

Leave a comment