Judul : Overture (Sebuah lagu kala mendung)
Penulis : Disa Tannos
Penerbit : Sekata Media
Tebal : 192 hlm.
Setiap hari, pukul sebelas malam, Kavi Arakata Sugandi mengirim pesan yang tak pernah diterima.
Begitu Disa Tannos membuka ‘lagu kala mendung’nya. Kalimat yang nyaris tak menemukan logikanya : bagaimana mungkin seseorang mengirim pesan yang tak pernah diterima? Jika sesuatu dikirim, semestinya ada yang menerima, bukan? Apa pula maksud Disa?
Saya rasa Disa tahu, ia tengah bertaruh saat membuat kalimat pembuka tersebut. Dan saya kira, sebagian besar pembaca akan mengikuti rasa ingin tahu demi menemukan logika dari kalimat pembuka yang masih menggantung tersebut. Semua menjadi utuh setelah seluruh paragraf pertama tuntas dibaca :
Setiap hari, pukul sebelas malam, Kavi Arakata Sugandi mengirim pesan yang tak pernah diterima. Ia tak peduli. Ia yakin suatu hari yang tak lama lagi pesannya akan sampai, puluhan pesan dalam waktu tak sampai satu menit. Lalu, Rena, perempuan yang ditunggunya itu, barangkali sembari sarapan di sebuah tempat yang tidak dikenalnya, atau menonton televisi akan membaca semuanya. Satu per satu. Lalu pulang karena rindu.
Setelah tuntas satu paragraf, kalimat tersebut menemukan logikanya. Sekaligus Disa sudah membeberkan inti Overture. Tentu tidak mudah bagi Disa untuk terus membuat pembaca bertahan menuntaskan Overture hingga halaman terakhir. Apa yang istimewa dari kisah penantian seorang lelaki yang ditinggal perempuan yang dicintainya, lalu memilih bersetia? Terdengar klise, bukan?
Namun, kepiawaian Disa berkata-kata mampu menggugurkan kesan klise dari tema jatuh cinta dan patah hati. Kita semua tahu tema tersebut demikian mainstream, dan Disa mengambil tantangan itu. Jika kita diposisikan sebagai HRD di sebuah perusahaan, tentu sudah teramat biasa menerima surat lamaran pekerjaan. Umumnya para pelamar mengirim surat lamaran dibalut amplop coklat, rapi dan resmi. Lalu, Disa datang sebagai ‘pelamar’ yang mengirimkan surat lamaran berbalut amplop merah muda dan berpita ungu. Terlalu menarik untuk diabaikan, bukan?
Begitulah Disa memperlakukan tema jatuh cinta dan patah hati. Walau kita sangat bisa menebak alurnya, tapi itu tak membuat kita berhenti sebelum halaman terakhir. Kita akan lupa bahwa kisah semacam ini sudah ratusan kali ditulis orang.
Ibarat seorang barista, Disa sangat tahu kapan harus membubuhkan cukup banyak gula atau tetap membiarkan kopi didominasi rasa pahit. Ya, ia teramat piawai berkata-kata. Kepiawaiannya –diantaranya- terlihat pada catatan-catatan harian tokoh Kei. Mari kita tengok!
Raka, aku pernah begitu yakin bahwa patah hati adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Lalu, aku bertemu kau. Sebentar. Dan keyakinan tersebut dipatahkan oleh patah hatiku sendiri. Siapa sangka rasanya bisa begini pahit bagi dada dan punggungku yang sejak awal sudah penuh hujan?
Namun, bukankah kita belajar banyak dari sebuah pertemuan yang singkat? Setidaknya, aku belajar bahwa kesedihan juga perlu kebebasan bersuara. Bahwa jatuh cinta tak sepenuhnya biasa saja. Bahwa kita tak pernah dapat memilih ingin jatuh di tubuh siapa. Orang asing yang belum pernah kita temui. Atau yang selama ini begitu dekat atau yang sudah terlebih dahulu dimiliki.
-dst-
Bagi saya, Overture ibarat kopi dengan racikan yang demikian pas. Kopi hitam biasa. Bisa kita temukan dimana saja. Tapi, racikannya yang demikian pas membuat saya ingin meminumnya hingga tandas.
Masih secara pribadi, Overture juga membawa efek kontemplatif. Bukankah begitu semestinya sebuah tulisan, saat kita tuntas membaca sesungguhnya tulisan itu belum tuntas di benak kita? Membawa kita pada ruang kontemplasi. Satu diantaranya –dan ini sungguh sangat personal- adalah Disa mengingatkan kita untuk selesai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Saya jadi ingat sebuah kalimat yang entah disampaikan oleh siapa : bagaimana mungkin kita bisa bahagia bersama orang lain, jika kita tak cukup mampu berbahagia kala sendirian?
Sepintas, pesan itu teramat biasa. Kebanyakan kita sudah tahu. Tapi, bukankah kita kerap lupa? 🙂
Maka, selamat menikmati ‘lagu kala mendung’ dari Disa Tannos : Overture, serupa menyeruput kopi hitam yang telah demikian biasa dinikmati, namun kali ini terasa demikian nikmat. Happy reading!
Yogyakarta, Oktober 2014
~Icha Planifolia~