Renggo Darsono : Ikuti Passion, Maka Jalanmu “Ringan”!

Kopi. Pelengkap percakapan, menyuguhkan perbincangan. Kopi itu selera. Saya masih terus belajar.

Renggo Darsono

Lelaki berkemeja flanel itu tampak tengah mengamati pemasangan instalasi listrik ketika saya tiba di Dongeng Kopi Jogja (11/04). Ia adalah Renggo Darsono, satu dari tiga orang pemilik DKJ (singakatan untuk Dongeng Kopi Jogja) yang berdiri sejak Agustus 2014 lalu. Begitu menyadari kehadiran saya, ia segera menyilakan saya duduk. Kami segera terlibat perbincangan setelahnya, sembari menunggu kopi Linthong yang diseduh dengan teknik pourover pesanan saya datang…

Bersama Renggo dan Mas Jokpin

Bersama Renggo dan Mas Jokpin

Saya tidak ingat persis bagaimana mulanya hingga saya meminta waktu Renggo -begitu saya menyapanya- untuk berbincang sore itu. Tapi, saya ingat bahwa kami pernah berfoto bertiga dengan Joko Pinurbo pada peluncuran buku “Pohon Duka Tumbuh Di Matamu” karya Khrisna Pabhicara. Saya juga ingat bahwa saya jatuh cinta pada Dongeng Kopi Jogja sejak kunjungan pertama. Lalu ide untuk berbincang dengan pemiliknya muncul begitu saja. Ada dorongan yang kuat untuk menuliskan kisahnya. Bukan karena ia “wah” di mata dunia, tapi karena mata saya menangkap sesuatu yang tak biasa, sangat subjektif memang. Nyatanya memang banyak sekali yang dapat saya pelajari darinya. Terlepas dari segala pelajaran itu, satu hal yang sangat patut saya syukuri adalah kami berkawan hingga kini.

Bertemu Renggo hari ini mungkin kamu hanya akan mengetahui bahwa ia adalah salah satu pemilik Dongeng Kopi Jogja (review tentang kedai kopi ini dapat dilihat di sini). Siapa nyana, Renggo bahkan sudah Continue reading

Epilog

: kepada Mama

PicsArt_1425062747907[1]

Sejak dulu, berkata-kata di depanmu adalah hal yang tak mudah, Ma. Aku tak mengatakan paling sulit. Tapi, tak pernah mudah. Itu mengapa, aku menyimpan surat ini sebagai sebuah penutup.

Ma,

Aku ingin mengajakmu untuk berterima kasih pada diri kita masing-masing, sebab kita telah bertahan sejauh ini. Tidak mudah untuk memahamimu, seperti juga tidak mudah untuk memahami aku. Kita berdua mungkin butuh waktu seribu tahun lagi -atau bahkan lebih?- untuk bisa saling memahami. Tapi, kita terus bertahan bukan? Bertahan saling mengasihi dengan cara yang mungkin tak pernah semanis orang lain.

Ma,

Betapapun kita hampir selalu bersilang pendapat dalam banyak hal, namun Continue reading

Rindu untuk Bapak Ci

: Bapak Ci*

Pak,

Bapak baik di sana? Icha lama ya tidak menyapa Bapak. Jadi, ada banyak yang belum Icha ceritakan…

Sekarang Icha sudah lulus kuliah, Pak. Seperti selalu Bapak doakan dulu. Icha juga sudah bekerja di salah satu perusahaan farmasi asing. Seperti juga dulu Bapak selalu doakan Icha dapat pekerjaan yang baik. Allah kabulkan, Pak.

Pasti Bapak juga belum tahu bahwa sekarang Icha tinggal di Yogyakarta. Hmm…tepatnya sejak Oktober tahun lalu. Icha tinggal di kamar kos yang nyaman. Yang paling Icha suka adalah kamar ini terletak di lantai dua dan memiliki jendela yang menghadap ke selatan. Waktu pagi, Icha bisa melihat matahari terbit di sisi kiri. Sebaliknya, Icha bisa melihat matahari terbenam di sisi kanan, sore harinya. Bapak mau lihat foto matahari terbit? Atau terbenam? Icha tunjukkan ya… PicsArt_1424692943244

Oh ya, beberapa hari lalu Icha membuat cerita pendek. Inspirasinya adalah cerita Bapak dulu. Icha baru sadar, ternyata cerita-cerita Bapak dulu sangat memengaruhi Icha sekarang ini. Kata Ajo Continue reading

That’s What Friends Are For

: Nufira Stalwart

10444614_251980121674902_2257802513664143598_n

Nona,

Aku sedang mengingat-ingat kapan kali pertama kita berkenalan. Sekitar tahun 2009? Atau 2010? Sial, aku tak ingat persis! Tapi, aku ingat bahwa kita berhutang banyak kepada diskusi kepenulisan, blog, dan buku. Nyatanya karena ketiga hal itu kita bertemu.

Kita kerap saling mengunjungi blog masing-masing. Kemudian mendiskusikan apa yang telah masing-masing dari kita tulis di sana. Kita juga kerap saling mengabari mengenai buku yang tengah dibaca. Kemudian saling bercerita, semacam membuat review sederhana secara lisan. Dan tentu saja, kita kadang bersama-sama menyambangi diskusi-diskusi kepenulisan atau event yang terkait sastra.

Lalu, entah sejak kapan semua berkembang menjadi jauh lebih intim. Kau mengizinkan aku melongok kehidupanmu jauh lebih dalam, begitu pun kau kuberikan izin yang sama. Kadang kita terdampar di Bandung Utara semalaman. Aku dengan segelas kopi, kau dengan segelas lemon tea. Atau sebaliknya. Sambil berbincang tentang impian-impian atau sekadar bersilang pendapat tentang mengapa jatuh cinta kadang terasa demikian menyebalkan.

Aku sering kali melihatmu seperti anak kucing kecil, kedinginan, dan Continue reading

Tentang Nona Kece

??????????

Ini post card dari Mbak Sasha. :))

Bermotor aku meninggalkan Sagan. Ya, diantar Bang Ganezh. Tujuan kami adalah Jl. Sosrowijayan. Di bawah langit Yogya yang gerimis dan mulai gelap, kami berjalan mencari angkringan.

Aku menyantap beberapa bungkus nasi kucing. Sementara Bang Ganezh memesan minum, jeruk hangat. Kami berbincang sambil mengamati sekitar. Ada yang kami tunggu malam itu. Seorang perempuan yang kuduga pecicilan, eit…tapi sekaligus kuduga gagah. Kuduga? Ya, aku belum pernah bertemu dengannya. Kami saling kenal dari social media. Selain dengan perempuan –yang sepertinya juga agak absurd– itu, aku pun janji bertemu lagi dengan Mas Mogri dan Mas Hendra di sini. Sekadar ngopi hore sebelum aku kembali ke Bandung besok sore.

Mas Mogri lebih dulu datang. Kami lanjut berbincang, sambil tetap ngemil ini-itu. Sementara hujan makin deras mengguyur Sosrowijayan. Tak berapa lama, seorang perempuan bercelana pendek (tahu kan celana lapangan yang ada resletingnya, nah bisa dipakai celana pendeknya saja toh?) berjaket (jaket khusus outdoor activity, yang sering dijual di ei*er atau r*i dan sejenisnya itu loh), merapat ke tempat kami duduk.

Continue reading